Rabu, 13 Oktober 2010

Tugas Yang Telah Fix


Revisi Tugas Kelompok Pra LKMM
Disusun untuk Memenuhi Tugas LKMM Pradasar 2010




                                  Oleh :
Kelompok  20:
                               Paldibo Sitorus                              21040110120020
                               Argiean Luthfi                                21040110120051
                               Saifuddin Munif                            21040110060019
                               Hendrawan Septy N                    21040110120061
                               Raetami Adira Saraswati           21040110120043              
                               Dyah Lestariningsih                     21040110060038
                               Listia Rini                                          21040110141029
                               Hanna Dian Pratiwi                      21040110141041
                               Nuskhiya Asfi                                 21040110120042


JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010


1. HUBUNGAN PROFESI GURU DENGAN KEPNEDUDUKAN TEMBALANG
Hubungan Profesi Guru Dengan Masalah Kependudukan Tembalang

Seorang Guru yang mengajar memiliki misi untuk mengantarkan anak didiknya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial bukan sekedar karena profesi guru merupakan pekerjaan yang paling mudah didapatkan. Maka ia akan bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keislaman yang besar dalam dada setiap muridnya, bahkan sesudah ia meninggal. Guru yang mengajar dengan mental seorang pendakwah sekaligus pengasuh, bukan dengan mental tuakng teriak untuk mendapat upah bulanan bernama gaji, akan mampu menyediakan cadangan energi agar tetap lembut menghadapi murid yang membuat kening berkerut.
     Oleh karena itu dalam sejarah pendidikan, tentu seoarng gurulah ayng paling awal muncul, baru kemudian muris dan infrastruktur lain yang terkait dengan paradigma pengelolaannya. Lihat saja Ki Hajar Dewantara, aMoh. Syafei, R.A. Kartini, Dewi Sartika dan tokoh - tokoh pendidikan lainnya, mereka semua adalah guru yang kemudian menciptakan sebuah pendidikan. Setelah terciptanya pendidikan baru kemudian berkembang kurikulum yang berkaitan dengan manajemen lembaga pendidikan, seperti bangunan sekolah, kepala sekolah, karyawan, hingga sampai pada perdana mentri pendidikan.
    Sebuah reposisi guru sangat diperlukan karena perannya tidak lagi hanya sebagai "pengabdi" pendidikan yang dicecoki rutinitas, tapi harus menjadi "pendidik murni" yang mendapatkan kesempatan yan gluas unutk mengembangkan sendiri pola pembelajarannya dan meningkatkan kualitas pribadi sehingga bisa menghasilkan anak didik yang cerdas dan bermoral.
    Namun, jumlah tenaga pengajar perbandingannya tidak sesuai dengan jumlah murid yang ada di indonesia, salah satunya di daerah Tembalang, untuk itu perlu dicari solusi tentang kurangnya jumlah tenaga pengajar agar maslah tersebut dapat tearatasi. Sehingga kualitas peserta didik di daerah Tembalang dapat meningkat dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
     Dengan melihat keadaaan penduduk Temablang yang mayoritas adalah wirausaha, maka muncul pertanyaan tentang kualitas pendidikan di daerah Temablang. Dalam hal ini, ditinjau dari aspek guru yang notabenenya adalah dasar dari sebuahlembaga kependidikan di Indoensia. Profesi guru sangat diperlukan dalam menigkatkan kualitas hidup di daerah Temablang pada khususnya. Tetapi seperti diaktakan sebelumnya, perbansingan antara jumlah tenaga pengajar dan jumlah murid yang tidak memadahi.
     Oleh karena itu, perlu diadakan peninjauan kembali kebijakan pemerintah dari guru tidak tetap menjadi tetap. Selain itu, perlu diadakan rayonisasi agar tidak terjadi pemusatan siswa yang dianggap sebagai sekolah yang lebih berkualitas di daerah tersebut. Hal itu harus disertai dengan pemerataan kualitas guru, agar di daerah terpencil dapat mendukung ilmu pengetahuan yang sebanding di kota.


2. CRITICAL REVIEW

PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAERAH PAPUA
 (Paldibo Sitorus)

Selama ini telah banyak alur pikir, aneka ragam model dan paradigma pembangunan  yang telah dipakai di Tanah Papua, yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai instrumen untuk mengubah kehidupan masyarakat ke arah perbaikan yang lebih maju, tetapi tidak maju-maju juga. Berbagai ukuran dapat digunakan untuk menunjukkan kemajuan baik dari sisi ekonomi maupun sosial budaya dan politik.Akan tetapi sesungguhnya model terapan tersebut merupakan terjemahan dari ancangan suatu pola dan konsep anutan kebijakan pembangunan. Kini, dengan semakin menguatnya keinginan memandirikan daerah dalam konteks otonomi, mengharuskan adanya adaptasi model dan paradigma pembangunan yang lebih adil, demokratis, dan manusiawi, menggeser paradigma lama yang terbukti tidak memberi garansi memuaskan. Dalam hal pembangunan dipandang sebagai suatu proses multidimensi yang berlangsung secara seimbang antara perubahan-perubahan dalam struktur sosial dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka dibutuhkan penyikapan yang adil bukan menurut penguasa saja

1.       Kondisi Wilayah Papua
Pada bagian Utara, Papua berbatasan dengan Samudera Pasifik. Hal ini mempengaruhi pembentukan budaya pada masyarakat di wilayah pantai utara Papua.
Di bagian Selatan, Papua berbatasan dengan laut Arafura. Wilayah selatan pada umumnya berawa. Masyarakat di wilayah selatan hidup sebagai nelayan. Salah satu suku tradisional yang sangat kuat tradisi lautnya adalah suku Kamoro di wilayah kabupaten Mimika.
Di bagian Barat, berbatasan dengan Provinsi Papua Barat dan wilayah Laut Seram.
Di bagian Timur provinsi Papua berbatasan secara langsung dengan negara Papua New Guinea.
Luas Provinsi Papua adalah 317.062 Km2, menjadikannya salah satu provinsi terluas di Indonesia. Daerah terluas di Papua adalah Kabupaten Merauke dengan luas 43.979 Km2 atau 13,87 % luas Papua. Sementara daerah terkecil di Papua adalah Kota Jayapura dengan luas sebesar 940 Km2.
Dari segi kependudukan, menurut proyeksi BPS tahun 2007, jumlah penduduk Papua berjumlah 2.015.616 jiwa. Jika dibandingkan dengan luas wilayahnya, maka kepadatan penduduk adalah 6.36/ Km2 . Fakta ini menempatkannya sebagai wilayah yang paling sedikit penduduknya di Indonesia.

2.       Tantangan Pembangunan Papua
A.      Infrastruktur
Prasarana jalan dan transportasi di Papua adalah salah faktor penyebab utama dari ketertinggalan. Oleh karena itu, pembangunan dan perbaikan atau peningkatan jalan darat menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan penting. Teristimewa untuk tiga kabupaten, Paniai, Tolikara dan Boven Digoel yang memiliki lebih dari 35 kampungnya hanya dapat dijangkau oleh angkutan udara. Keadaan ini mengakibatkan kampung-kampung tersebut secara relatif masih terisolasi.
Penambahan jaringan listrik dan kapasitasnya juga menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Kabupaten Paniai dan Sarmi kurang dari 3% penduduknya yang menikmati fasilitas listrik. Ada empat kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara dan Boven Digoel yang tidak mengelola sampah dan sanitasi air kotor di daerahnya. Keadaan ini apabila dibiarkan, pada saatnya nanti akan menjadi permasalahan serius di empat kabupaten tersebut. Karena sampah dan sanitasi air kotor yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk di daerah tersebut. Kebutuhan air bersih juga menjadi hal yang mendesak di lima kabupaten, yaitu Sarmi, Keerom, Tolikara, Boven Digoel, dan Asmat. Karena situasi, kondisi dan lingkungannya, kelima kabupaten tersebut, sulit mendapatkan air sumur yang memenuhi standar minimal air bersih. Bahkan khusus untuk daerah Asmat tidak mungkin membuat sumur untuk air minum. Mereka hanya bisa mengandalkan air hujan. Kabupaten Paniai, Sarmi, Keerom dan Tolikara, juga membutuhkan peningkatan pelayanan listrik, jaringan dan kapasitasnya.  Kurang dari 3% rumah tangga yang mendapatkan pelayanan listrik. Bahkan di Tolikara, belum ada kantor PLN (Perusahaan Listrik Negara).

B.       Peningkatan Layanan Publik
Tantangan lainnya yang dihadapi di Papua adalah peningkatan layanan publik dan dalam hal ini adalah kualitas layanan publik. Salah satu tokoh akademik di Jayapura menyampaikan rasa keprihatinannya akan kondisi layanan publik di Papua. Menurutnya banyak pejabat daerah yang lebih mudah ditemui di Jakarta daripada di Jayapura.Sedangkan di Jayapura sendiri sering ditemui pejabat kabupaten dalam jumlah banyak dan akibatnya mengurangi kualitas layanan kepada masyarakat di wilayah kerjanya.
Salah satu kesulitannya adalah karena  pada waktu terjadi pemekaran wilayah,banyak pejabat kabupaten setempat yang diambil dari dalam struktur birokrasi di ibu kota provinsi. Hal ini menyebabkan keterikatan dengan kepentingan keluarga misalnya, mengakibatkan sang pejabat tidak bisa selalu berada di tempat tugasnya.Sedangkan mengenai pejabat provinsi yang seringkali berada di Jakarta daripada di kantornya, itu disebabkan karena adanya manfaat ekonomis dari biaya perjalanan dinas yang cukup besar yang dapat dimanfaatkan oleh sang pejabat.
Pada satu segi sebenarnya ini sudah merupakan bentuk penyalahgunaan jabatan. Menurut salah satu tokoh  politik di Jayapura, hal ini disebabkan karena konsolidasi dan reformasi pemerintahan baru berhasil dilakukan pada aspek struktur birokrasi itu sendiri, tapi belum  diimbangi dengan adanya mekanisme  reward and
punishment. Oleh karena itu dibutuhkan reformasi pemerintah lokal yang lebih lanjut termasuk memperbaiki mekanisme rekruitmennya melalui fit and proper test. Komitmen untuk melakukan reformasi pemerintahan secara berkelanjutan memang sudah dimiliki oleh Papua, namun masih  sering dihambat oleh berbagai kondisi dinamika politik lokal. 
Langkah awal dilakukan gubernur dan wakil gubernur adalah dengan mengintensifkan kegiatan “Turun ke kampung” (Turkam). Demikian aktifnya gubernur melakukan Turkam sehingga beliau akan lebih banyak berada di kampung daripada di kota. Ini merupakan satu bentuk teladan kepada para bawahannya untuk lebih dekat kepada rakyat di kampung dan merupakan perwujudan visi pembangunan yang berakar di kampung.
Ada dua dunia di Papua. Pertama, dunia birokrasi yang pesta pora dengan uang Otonomi Khusus. Kedua, dunia rakyat kecil  di kampung-kampung. Dunia yang terus berteriak, menjerit, menangis, miskin  dan papa. Mereka hidup dalam kemiskinan dan kebodohan. Bahkan ada yang mati karena lapar. Dua dunia ini tidak pernah bertemu.

C.      Keseimbangan Lingkungan hidup
Masalah lain yang dihadapi oleh Papua sebagai satu sumber  megadiversity di dunia adalah masalah lingkungan hidup. Dari observasi yang dilakukan sejauh ini,  ada beberapa masalah, yaitu:
  Pengelolaan limbah.
  Penebangan hutan.
  Penggalian bukit.
  Pengelolaan kota.
Pengelolaan limbah terkait dengan pembuangan limbah yang dihasilkan oleh aktifitas pertambangan di gunung yang kemudian dialirkan melalui aliran sungai sehingga merusak ekosistem sungai dan bahkan mematikan mata pencaharian penduduk. Salah satu masalah utama adalah dalam pembuangan tailing dari pertambangan PT Freeport di Timika, sehingga menyebabkan beberapa kampung harus dipindahkan atau direlokasi  ke tempat lain. Pihak perusahaan kemudian mengadakan program-program untuk memulihkan mata pencaharian kampung yang dipindahkan.
Penebangan hutan juga merupakan satu masalah besar di Papua. Sebagai wilayah dengan luas hutan tropis yang sangat luas, hutan dilihat sebagai sumber pendapatan ekonomi dari kayu. Selain itu penebangan hutan juga sering terjadi dalam kaitan dengan kebutuhan proyek pembangunan. Sayangnya dalam proses itu sering pembukaan hutan dilakukan tanpa memperhitungkan kepentingan konservasi ataupun pelestarian hutan. Padahal sebenarnya pendapatan dari hutan lebih besar jika dikaitkan dengan kekayaan plasma nutfah yang terkandung di dalamnya. Nampaknya hal ini juga menjadi perhatian dari DPR Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) sehingga mereka baru-baru mengeluarkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) tentang Kehutanan dan tentang Hak Kekayaan Intelektual dan Ekonomi Rakyat.
        Penggalian bukit sering terjadi bersamaan dengan semakin populernya “Galian C” sebagai salah satu sumber pendapatan dari kebutuhan pasir dan batu bagi pembangunan. Seiring dengan otonomi daerah dan penataan struktur tata organisasi pemerintah daerah, dimana sektor pertambangan menjadi salah satu sektor tetap yang ada maka di berbagai kabupaten juga mengadakan dinas ini. Meskipun tidak ada kandungan tambang mineral di daerah tertentu, tapi dinas ini akan mengurus penambangan pasir dan batu. Hal ini juga yang dikeluhkan berbagai pihak pencinta lingkungan hidup, bahwa struktur organisasi pemerintah daerah yang seperti itu justru mendorong pemerintah daerah untuk mendukung kegiatan-kegiatan ekonomi yang beresiko tinggi bagi lingkungan hidup.
Pengelolaan kota dan penanganan sampah kota masih merupakan masalah besar bagi beberapa kota besar di Papua, khususnya  di Timika (yang paling parah) dan di Jayapura (untuk masalah sampah di sungai). Kondisi pengelolaan sampah di Timika cukup memprihatinkan. Nampaknya pemerintah kabupaten Mimika cukup kewalahan mengelola wilayah yang perkembangannya cepat. Sehingga tampaknya dibutuhkan pemekaran menjadi kota Timika sehingga ada konsentrasi yang cukup untuk membenahi kota tersebut. Yang ironisnya, kondisi tersebut sebenarnya terjadi di lokasi yang berdekatan dengan kota modern di tengah hutan yaitu  kota Kuala Kencana yang merupakan pusat pemukiman dan perkantoran PT Freeport Indonesia. Kondisi kota modern Kuala Kencana sangat bertolak belakang dengan kota lain di sekitarnya. Sehingga muncul pertanyaan bahwa mungkin diperlukan alih pengetahuan dari pengalaman dan manajemen Kuala Kencana kepada birokrasi pemerintahan kota di Timika dan kota lainnya di Indonesia.                                            
Pengelolaan sampah yang lemah akan menurunkan kualitas hidup masyarakat,khususnya masyarakat miskin di perkotaan yang biasanya tidak bisa mengakses fasilitas yang hiegenis. Penurunan kualitas hidup  masyarakat akan menurunkan produktifitas masyarakat.

D.      Arah Kebijakan
Secara khusus, kebijakan pembangunan di Provinsi Papua dititik beratkan pada 4 program prioritas utama, yaitu :
3.1 Ekonomi
Diarahkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Pember-dayaan ekonomi rakyat menjadi acuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat agar mampu mengolah dan mengelola sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Kebijakannya diarahkan pada sektor: pertanian, perikanan dan kelautan, serta kehutanan.
3.2 Infrastruktur
Dalam rangka pembangunan prasarana dan Sarana, kebijakan diarahkan pada pembangunan dan peningkatan infrastuktur pemerintahan, ekonomi dan Pelayanan Publik de-ngan tujuan untuk mendukung pe-ngembangan wilayah, terutama wi-layah yang belum tersentuh pem-bangunan, pusat-pusat pemerintahan, kawasan pengembangan ekonomi rakyat dan kawasan-kawasan tumbuh cepat. Pembangunan infrastruktur di-harapkan dapat meningkatkan pelayanan pemerintahan serta mendorong perkembangan ekonomi wilayah dan menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat di suatu kawasan dan sekitarnya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan, mempercepat kemajuan ekonomi perdesaan, memberikan akses bagi masyarakat pedesaan untuk berusaha, menciptakan lapangan kerja, memperlancar arus barang dan jasa, serta menjamin tersedianya bahan pangan dan bahan pokok lainnya. Di sektor perhubungan, sejumlah kegiatan diarahkan untuk :
Ø  Mengembangkan sistim transportasi laut, darat dan udara terutama menuntaskan pembangunan ruas jalan strategis antar kabupaten-kota.
Ø  Mengembangkan sistim angkutan umum melalui penyediaan kapal penumpang perintis dan jasa transportasi laut lainnya sebagai penghubung antar pulau.
Ø  Mengembangkan dan membangun jaringan jalan antar desa/kampung.
Ø  Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi untuk mendukung pembangunan Kota Kabupaten.

3.3 Kesehatan
Diarahkan pada peningkatan mutu lingkungan hidup yang sehat dan mendukung tumbuh dan berkembangnya anak dan remaja, pemenuhan kebutuhan dasar untuk hidup sehat, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan serta mencegah terjadinya resiko penyakit, peningkatan jumlah dan mutu tenaga medis dan paramedis, serta penyediaan prasarana dan sarana kesehatan dan obat-obatan.

  1. Critical Review
Masalah pembangunan papua memang telah menjadi permasalahan nasional. Penyebabnya adalah kerusakan perencanaan, dimana terjadi penyelewengan kekuasaan. Dengan melihat potensi yang dimiliki papua, seharusnya daerah ini bisa menghasilkan sumber daya manusia yang baik. Pembangunan harus dilakukan secara signifikan dan juga dengan cara yang sehat. Penyediaan infrastruktur harus leih ditinjau lebih jauh lagi untuk menghasilkan papua yang bisa bersaing dan lepas dari ketertinggalan.


PEMBANGUNAN TOL SEMARANG-SOLO
(Argiean Lutfi)
 
Pembangunan konstruksi jalan tol Semarang-Solo sepanjang 75,8 kilometer yang sempat tertunda beberapa tahun, akhir Januari 2009 memasuki tahap pembangunan konstruksi. Pencanangan dimulainya pembangunan jalan tol dilakukan Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 31 Januari 2010 di kelurahan Kramas, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Masalah utama tertundanya konstruksi jalan tol tersebut adalah masalah pembebasan lahan yang mengalami hambatan. Proyek pembangunan tol Semarang-Solo dibagi menjadi lima seksi, yakni Semarang-Ungaran, Ungaran—Bawen, Bawen-Salatiga, Salatiga-Boyolali, dan Boyolai-Solo. Pembangunan jaln tol seksi I Semarang-Ungaran dijadwalkan selesai pada alwal tahun 2010 dan jalan tol tersebut sudah bisa dioperasikan. Realisasi jalan tol Semarang-Solo suah sangat mendesak, mengingat jalur ini sangat padat sehinggan saat ini dibutuhkan waktu 3 jam untuk waktu tempuh Semarang-Solo sepanjang 101 km. Waktu tempuh Semarang-Solo lewat jalan tol jauh lebih cepat dan efisien. Gubernur menyatakan seluruh proyek pembangunan tol Semarang-Solo sepanjang kurang lebih 78,5 km dengan investasi mencapai Rp 7,1 triliun ditargetkan selesai 2012 mendatang.
Pembangunan tol Semarang-Solo memang sanagat penting mengingai kepadatan lalu lintas yang terjadidan akan jauh lebih cepat dan efisien bagi pengguna jalan. Namun di sisi lain, banyak kita lihat pedagan-pedagang dan bahkan Rest Area sddi sepanjang Semarang-Solo. Lalu apa yang terjadi ketika tol Semarang Solo selesai dibangun? Apakah mereka masih bertahan? Hal-hal seperti itulah yang seharusnya dipikirkan Pemprov. Keberadaan pedagang-pedagang tersebut sedikitnya mulai terancam dengan dibangunnya tol Semarang-Solo. Seharusnya juga memperhatikan hal-hal tersebut sebelum membangun tol Semarang-Solo dan memberikan solusi kepada mereka.
 


DPR Cuci Tangan, Gedung Baru Jalan Terus
(Hendrawan Septy)
Polemik dan kontroversi hamper dua pekan terakhir ini terkait rencana pembangunan gedung baru DPR, lama kelamaan mengusik parlemen. Buktinya, Ketua DPR Marzuki Alie angkat tangan soal pembangunan gedung baru DPR.
“Anggota DPR itu orang politik tidak mengerti secara teknis yang berkaitan dengan pembangunan gedung,”ujarnya saat jumpa pers setelah rapat tertutup antara Pimpinan DPR, Pimpinan BURT, Setjen DPR, Tim Teknis Setjen dan Konsultan Pembangunan Gedung, Senin (6/9).
Marzuki menegaskan, mendesain dan menghitung anggaran bukan dilakukan DPR namun tim teknis dan konsultan. Tim teknis sambung Marzuki, mewakili pemilik dan pemerintah kemudian Kementrian Pekerjaan Umum yang menunjuk konsultan, bukan DPR.
“Kita tidak minta gedung yang mewah, tanyakan ke tim teknis, tidak pernah ada. Tidak pernah minta kolam renang. Tidak pernah minta kolam renang dan spa,clear. DPR tidak mengerti apa-apa, kita hanya minta tambahan TA (tenaga ahli) bisa ditampung dalam rangka kinerja public,”paparnya.
Marzuki meminta agar rencana pembangunan gedung DPR dikaji ulang.”Karena menjadi citra negative, meminta agar proyek gedung ini dikaji dan dihitung ulang. Jangan mencerminkan gedung mewah,”tegasnya seraya menyebutkan agar tender juga ditunda.
Marzuki meminta agar tim teknis dan konsultan menjelaskan kepada public secara transparan dengan akuntabilitas yang baik dan terukur.”Dan yang menjelaskan bukan anggota DPR,”tandasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menegaskan jika pada akhirnya pembangunan gedung dilaksanakan agar tender dilakukan secara terbuka.”Serta KPK dan Kejaksaan mengawasi prosesnya,”tandas Priyo.
Sementara Tim Teknis Biro Pemeliharaan Bangunan dan Instalasi Setjen DPR Mardiyan Umar menegaskan semua masukan dari public akan ditampung.”Masukan kami tampung dulu, kami akan terus bekerja dulu. Pasti akan mengulur peletakan batu pertama,”jelasnya.
Sementara Ketua Tim Konsultan Perencana Budi Sukada menegaskan bisa saja dikurangi anggaran namun tetap memperhatikan hal – hal penting. : Kami tidak berani kurangi yang primer. Ga mau ambil risiko,”ujarnya seraya tidak bisa memastikan berapa anggaran dapat ditekan.



Critical review :
Sebaiknya DPR atau pemerintah itu lebih mementingkan nasib rakyat karena negara indonesia negara demokratis semua kembali ke rakyat bukannya untuk kepentingan pemerintah sendiri misalnya pembuatan gedung DPR baru itu tidak penting seharusnya rakya di subsidi buat menunjang kehidupan rakyat yang memprihatinkan.
 


Jalan Tol Batang-Semarang Belum Ada Kepastian
 (Raetami Adira Saraswati)

Komentar :
                Selalu saja ada masalah antara pemerintah daerah dengan warga apabila pemerintah suatu daerah ingin membebaskan lahan untuk pembangunan jalan tol. Malasah ini kelihatannya sudah menjadi tradisi di negara kita, jarang sekali ada jalan keluar yang  ada hanyalah benturan antara warga dengan pemerintah daerah, keributan yang tak henti-henti sampai menimbulkan korban.
                Kali ini di Kendal timbul masalah pembebasan jaln tol Batang-Semarang yang  tidak kunjung  membentuk tim pemantau pembebasan lahan jalan tol. Seharusnya pemerintah daerah Kendal bertindak cepat dan tidak bersikap lamban dalam usaha pembebasan lahan mereka. Sikap pemerintah daerah yang seperti ini yang membuat warga daerah pembebasan jalan tol menjadi menunggu dan
menjadi bersikap apatis.

Saran :
                Menurut saya seharusnya pemerintah daerah Kendal bersikap cepat atas pembebasan jalan tol Batang-semarang agar warga bias mengantisipasi apabila lahan mereka benar-benar terkena pembebasan tol. Apabila benar lahan mereka terkenapembebasan jalan tol mereka dapat mengantisipasi dengan membeli rumah ganti. Akan tetapi lahan jalan tol Batang-Semarang bisa menerima pembebasan lahan mereka untuk jalan tol, apabila pemerintah daerah tidak memberikan ganti rugi yang setimpal takut terjadi hal-hal bentrok antara warga dengan pemerintah daerah. Pemerintah mempercepat member kejelasan atas pembebasan jalan tol agar tidak ada calo-calo yang menggangu proses ganti rugi. Mereka menawarkan jasa yang belum bias dipastikan  kebenaran nya.


PENGELOLAAN PERMUKIMAN
 (Dyah Lestariningsih)

Perkembangan permukiman merupakan indikator untuk melihat pengaruh perkembangan kota secara berkelanjutan. Permukiman berkembang seiring dengan faktor pendorongnya yaitu pertumbuhan penduduk, keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta bertambahnya kegiatan masyarakat. Adanya pertumbuhan permukiman juga akan berdampak pada kondisi lingkungan yang juga turut berubah seiring dengan adanya konversi lahan menjadi kawasan permukiman. Sementara itu, setiap orang sangat mendambakan lingkungan permukiman yang aman dengan kualitas lingkungan yang terjamin seperti banjir. Banjir bisa dikaitkan akibat adanya alih fungsi lahan yang menyebabkan berkurangnya daerah resapan. Umumnya banjir merupakan dilemma bagi setiap insan.
ISU PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN
Perkembangan dan pembangunan permukiman memiliki banyak ketimpangan. Hal ini bila dilihat dari berbagai segi, berikut ini adalah isu-isu yang terdapat pada perkembangan permukiman yang ada pada saat ini:
a.Adanya perbedaan peluang antar pelaku pembangunan yang ditunjukkan oleh terjadinya ketimpangan pada pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, perumahan dan ruang untuk kesempatan berusaha.
b.Konflik kepentingan yang disebabkan oleh kebijakan yang memihak kepada kepentingan suatu kelompok masih sering terjadi dalam pembangunan perumahan dan permukiman yang masih bias, serta belum sepenuhnya keberpihakan untuk kepentingan masyarakat setempat.
c.Alokasi tanah dan ruang yang kurang tepat. Pasar tanah dan perumahan yang cenderung mempengaruhi tata ruang berimplikasi pada alokasi tanah dan ruang yang tidak tepat, yang menyebabkan penggunaan tanah atau ruang yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan lainnya dan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan.
d.Terjadinya masalah lingkungan yang serius umumnya terdapat di daerah yang mengalami tingkat urbanisasi dan industrialisasi tinggi, serta eksploitasi sumber daya alam.
e.Tersisihnya komunitas lokal dimana orientasi pembangunan yang terfokus pada pengejaran target melalui proyek pembangunan baru, berorientasi ke pasar terbuka dan terhadap kelompok masyarakat yang mampu dan menguntungkan.
Dibalik itu semua, bisa menjadi isu-isu menjadi akar permasalahan yang dapat terjadi di masa mendatang. Sedangkan isu-isu perkembangan pembangunan permukiman yang akan datang antara lain adalah:
a.Urbanisasi di daerah yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi Pemerintah ke depan adalah untuk secara positif berupaya agar pertumbuhan lebih merata, antara lain dengan meningkatkan daya saing daerah yang lamban bertumbuh,
b.Perkembangan tak terkendali dari daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh. Urbanisasi dan pertumbuhan cepat dapat terjadi pada daerah yang kepadatannya rendah atau sangat rendah,
c.Marjinalisasi sektor lokal oleh sector nasional dan global. Pertumbuhan dan pengembangan yang berorientasi pada sektor formal, cenderung hanya memberi peluang kepada kegiatan atau kekuatan yang bersifat regional, nasional dan global.
SOLUSI PERMASALAHAN PENGELOLAN PEMUKIMAN
Jadi menurut saya sebaiknya untuk menanggulangi beberapa dampak yang ditimbulkan dari pengembangan permukiman, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Yaitu  menentukan Permintaan, Perubahan Peruntukan, Pengkaplingan, Denda Perencanaan, Mendefinisikan Pembangunan dan pengembangan daerah penanggulangan banjir.Beberapa hal tersebut diatas sangat penting adanya, mengingat kebutuhan lahan perkotaan untuk keperluan perumahan dan permukiman, serta adanya efisiensi penggunaan lahan serta pengawasan pembangunan dalam rangka pengembangan permukiman dapat berjalan. Sehingga,tidak terjadi lagi ketimpangan dan bencana lingkungan nantinya.
Para planner harus bisa memilih lokasi yang tepat untuk pembangunan tersebut.Karena bisa mengakibatkan dampak-dampak yang dapat merugikan.Seperti halnya daerah resapan tidak tepat untuk lokasi pembangunan.
 

Permasalahan Kota-kota Besar Indonesia dalam kaitannya dengan Kondisi Sosial Masyarakat
 (Listia Rini)

Masalah yang timbul dan mengemuka seputar masalah perkotaan dan tata kota. Beliau mengatakan bahwa kota-kota besar di dunia sudah terlalu padat. Kepadatan itu terjadi karena pertumbuhan populasi penduduk dunia yang semakin meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Meningkatnya populasi dunia adalah hal yang wajar terjadi dari dulu, peningkatannya pun berbanding lurus dengan deret ukur. Jumlah dari penduduk dunia yang terus bertambah ini juga terjadi karena angka natalitas selalu lebih besar dari angka mortalitas.
Perkembangan kota-kota yang semakin tak teratur pun terjadi bukan hanya semata-mata karena pertumbuhan populasi yang besar. Kecenderungan angka urbanisasi lebih besar dari angka reurbanisasi. Dengan kata lain, orang lebih senang melakukan migrasi ke kota daripada ke luar kota. Mungkin hal ini muncul karena adanya pandangan bahwa kota dapat menyediakan kehidupan yang lebih baik dari pada tinggal di pedesaan. Memang semua fasilitas kehidupan tersedia di kota. Dan terjadilah berbagai efek dari memadatnya kota tersebut. Kota menjadi semakin tidak teratur, baik dilihat secara fisik maupun dari kacamata kehidupan sosial yang terjadi.
Permasalahan ini sebetulnya tidak timbul baru-baru ini. Pada awal abad ke 20, ketika Revolusi Industri bergulir, orang mulai menyadari masalah yang timbul pada kota-kota modern di Eropa. Populasi meningkat dengan cepat karena era mesin menyebabkan pabrik-pabrik yang ada di kota memerlukan buruh dalam jumlah besar. Muncul beberapa teori perencanaan kota dari Arsitek-arsitek terkenal saat itu. Le Corbusier menyodorkan The Radiant City, Ebenezer Howard dengan The Garden City, dan Frank Lloyd Wright dengan Broadacre City-nya. Ketiganya mencoba mengatasi masalah perkotaan yang ada dengan berdasarkan idealisme mereka sendiri. Ide-ide tentang perencanaan kota yang muncul kemudian lebih merupakan perkembangan atau kombinasi dari konsep yang di bawa oleh ketiga arsitek besar tadi.
Sekarang coba kita meninjau masalah yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan masalah yang terjadi pada kota-kota besar di dunia. Seberapa besarkah relevansi antara masalah perkembangan kota di dunia dengan yang ada di Indonesia. Ternyata, justru masalah yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia lebih kompleks dan lebih besar intensitasnya dari pandangan orang selama ini terhadap masalah urban internasional. Kasus perkotaan yang terjadi di Indonesia, secara umum, mirip dengan apa yang terjadi di dunia. Hal yang menjadikannya berbeda adalah karena kondisi sosial kultural yang ada di Indonesia memiliki kekhususan tersendiri.
Sentralisasi menjadi tema sentral yang mengemuka. Pemusatan penduduk pada satu daerah urban menimbulkan masalah-masalah yang cukup pelik. Indonesia dengan penduduk yang terbesar kelima di dunia, mayoritas penduduknya tinggal di Pulau Jawa yang merupakan pulau terkecil dari lima pulau utama Kepulauan Indonesia.
Permasalahan yang terjadi karena pemadatan penduduk beraneka ragam. Dimulai dari masalah fisik sampai masalah sosial. Masalah fisik yang terjadi contohnya seperti munculnya permukiman kumuh, pencemaran udara, sulitnya air bersih, menumpuknya sampah, kemacetan yang terjadi hampir setiap detik, dan segudang permasalahan lainnya. Masalah sosial yang muncul tidak kalah peliknya dengan masalah fisik. Deviasi yang terlalu besar dari masyarakat berdasarkan tingkat pendidikan, status sosial, kekayaan, dll menimbulkan permasalahan seperti pengangguran, kriminalitas, segregasi sosial, dan masalah lainnya yang diakibatkan ketimpangan yang ada.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalah fisik, sosial, ekonomi yang timbul dengan menggunakan perancanaan kota dan wilayah sebagai solusi? Saya tertarik dengan ide besar dari Bu Marwah Daud Ibrahim yang ingin mengembangkan potensi kedaerahan Indonesia. Artinya, masyarakat Indonesia diberikan pemahaman bahwasanya daerah akan menjadi sebuah aset yang luar bisa bermanfaat jika dikembangkan dengan optimal. Proyek konkret yang sudah dirintis dan tengah dikembangkan oleh Bu Marwah adalah proyek agropolitan di Sulawesi, yang tentunya mengembangkan potensi daerahnya dengan perkebuanan. Indonesia mempunyai Sumber Daya Alam yang sungguh luar biasa potensinya untuk bisa didayagunakan.
China bangkit dengan sebuah kebijakan dari pemerintahnya yang benar-benar melihat peluang. Dengan bermodalkan jumlah penduduk yang besar dan lahan yang sangat luas, China bangkit dengan diawali pengembangan pertaniannya. Setiap orang diberikan tanah oleh negara untuk dikelola. Hasilnya, sungguh luar biasa. Pertumbuhan ekonomi China naik dengan cepat. Dan diramalkan tahun 2050 perekonomian China akan mengalahkan Amerika.

Critical Review :
Mengapa kita tidak belajar dari kesuksesan China. Setidaknya, dari segi jumlah penduduk dan luas lahan, kita sedikit banyak mempunyai kesamaan. Bahkan kita diuntungkan dengan kesuburan tanah yang lebih baik. Belum lagi, potensi laut kita yang menjadi nilai tambah tersendiri. Sudah saatnya rakyat Indonesia melakukan trasnformasi paradigma bahwa kekuatan kita (SDA) sebetulnya belum dioptimalkan. Salah satu cara untuk mewujudkan pandayagunaan SDA adalah dengan merencanakan program desentralisasi, sehingga orang tidak bertumpuk di kota tetapi kembali ke desa. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya dapat menyadarkan masyarakat untuk bisa membangun daerahnya untuk kepentingan bangsa. Bukannya pro terhadap konsep Broadacre-nya Frank Lloyd Wright, yang mengutamakan desentralisasi secara ekstrem, tetapi lebih kepada menyesuaikan teori perencanaan kota yang ada terhadap konteks Indonesia. Dan penyebaran kembali (desentralisasi) adalah satu solusi. Pada prakteknya, peran pemerintah diharapkan lebih optimal untuk secara adil memberikan kesejahteraan pada penduduk “kota” dan penduduk “desa”


Banjir dan Longsor Bogor Akibat Pelanggaran Tata Ruang di Puncak
 (Hanna Dian Pratiwi)

                BOGOR (Pos Kota)- Terjadinya longsor dan banjir di wilayah Kabupaten Bogor lebih disebabkan tidak konsistennya pelaksanaan pemanfaatan tata ruang. Bupati Bogor agar bertanggung jawab atas terbitnya perda yang tidak memperhitungkan aspek kelestarian pemanfaatan area wisata ini. Pembiaran berdirinya villa menjadi masalah tersendiri yang harus disikapi secara cermat.
                Direktorat Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, DR Ernan Rustian mengatakan itu dalam diskusi panel diselenggarakan Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat IPB di kampus IPB, jumat (19/2).
                Dari hasil penelitiannya, ditemukan 25 persen dari pemanfaatan tata ruang di wilayah Kabupaten Bogor tidak konsisten. Ini artinya perencanaan dengan realisasi tidak sesuai asal jadi tanpa memperhitungkan aspek lain yang muncul. Khusus wilayah Desa Tugu Utara ditemukan 30 persen ketidak sesuaian antara perencanaan dengan realisasinya. “Kami berkeyakinan karena inkonsistensi itulah terjadi longsor dan banjir di wilayah Kabupaten Bogor dan sekitarnya,” kata Ernan.
                Di lain pihak, Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kab. Bogor, Muhamad Zairin menjelaskan pemda tidak mempunyai kewenangan bagi pemda agar dapat mengatur pelanggaran tata ruang.
                Kasubbid Pembinaan Pemanfaatan dan Pengendalian Ruang Dirjen Tata Ruang wilayah Jawa Bali, Raymond Kemur, menjelaskan terkait tidak ada kewenangan pemerintah daerah terhadap kawasan lindung, sebaiknya Pemkab Bogor memberikan rancangan Perda Tata Ruang kepada provinsi selanjutnya dibawa ke tingkat pusat. Ini untuk menghindari saling lempar tanggung jawab ketika muncul masalah, seperti yang dialami puncak sekarang. (yopi/si/aw)
 

                                                                                           

Penataan Kota Amburadul, Warga Rugi

 (Nuskhiya Asfi)

Setiap tahun, Jakarta dihujani bencana. Banjir kini tidak lagi menggenangi Ibu Kota sekali setahun, tetapi terjadi hingga dua-tiga kali. Berikutnya, masyarakat dipaksa menuai wabah penyakit, kerugian ekonomi, dan dampak negatif lainnya. Kata dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) DKI Jakarta menunjukkan, masyarakat menanggung kerugian akibat banjir sebesar Rp 95 miliar per hari. Jumlah itu jauh lebih tinggi dari anggaran penanggulangan banjir Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang hanya Rp 500 miliar per tahun.

Berdasarkan data dari Walhi dan Bapedal DKI Jakarta, dalam beberapa tahun terakhir, bahkan hingga dua kali setahun, masyarakat harus bersiap kehilangan akses bekerja, terganggu kesehatan, gangguan kenyamanan, kerusakan fisik bangunan, dan perbaikan rumah.

               Sesuai dengan data yang diperoleh Kompas dari warga yang menjadi korban banjir awal Februari 2007, sebanyak 370.167 kepala keluarga yang tinggal di 514 RW di Jakarta harus menanggung kerugian sebesar Rp 92.541.689.017 per hari. Semakin sering banjir datang, angka kerugian ini dipastikan terus merangkak.

Banjir hanya satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi Jakarta dan kawasan di sekitarnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, yang disebabkan kerusakan lingkungan. Permasalahan ini menuntut perhatian penuh, semacam utang yang harus segera dilunasi, kalau tidak bakal terus berbunga dan makin membengkak kerusakannya ataupun dampaknya.



Kemiskinan

Menurut pengamat perkotaan dari Program Studi Lingkungan Pascasarjana Universitas Indonesia, Bianpoen, masalah-masalah paling mendesak yang dihadapi masyarakat serta Pemprov DKI Jakarta adalah kemiskinan, kesenjangan sosial, banjir, kemacetan lalu lintas, dan sampah.

“Semua masalah tersebut menumpuk bertahun-tahun dan berkembang lebih buruk jauh dari penyelesaian. Dalam menghadapi masalah tersebut, kemampuan aparat pemerintah dipastikan belum siap meski perangkat hukum dan pembiayaan sebenarnya mencukupi,” kata Bianpoen yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi terbatas Kompas, “Mencari Administrator Ulung untuk Duduk di Merdeka Selatan”, Kamis (12/4).

Saat ini, kerusakan lingkungan parah menjangkiti Jakarta, baik di darat, sungai, laut, maupun udara. Mantan Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirja dalam diskusi tersebut mengungkapkan, pembangunan Jakarta dan
sekitarnya sejak berpuluh tahun silam selalu amburadul.

Masalah terus dituai, dirasakan langsung oleh masyarakat. Namun, Bianpoen menimpali, hingga kini belum ada satu program pun dari pemimpin DKI sejak tahun 1970-an yang mampu mengurangi beban tersebut,
apalagi menelurkan program rehabilitasi lingkungan yang signifikan.

“Jakarta dialiri 13 sungai yang kondisinya dari waktu ke waktu memprihatinkan. Banjir yang katanya siklus lima tahunan terbukti makin besar dan buruk kondisinya. Hal ini karena kita tidak mampu bersahabat dengan lingkungan. Akibatnya, meski pembangunan dilakukan di mana-mana, kita masih miskin dan makin terpuruk,” kata Surjadi.  


Tak ada kesinambungan

Menurut Surjadi, pada tahun 1990-an awal, daerah resapan atau daerah hijau di Jakarta dan sekitarnya tinggal 17 persen, padahal secara teoretis seharusnya mencapai 33 persen. Saat ini diyakini lahan hijau makin sempit lagi.

Hanya untuk menyelesaikan masalah makin sempitnya lahan hijau, setiap periode pemerintahan gubernur DKI Jakarta tercacat puluhan miliar rupiah dana yang dianggarkan, tetapi kenyataannya semua program boleh dikatakan gagal.

Mantan gubernur ini mengakui kondisi tersebut terjadi karena tidak ada kesinambungan program antargubernur. Karena itu, kata Surjadi, DKI memerlukan pemimpin berjiwa besar yang mau dan mampu menghargai pendahulunya, minimal mengadopsi, meneruskan, serta memperbaiki program-program yang sebelumnya sehingga ada kesinambungan pembangunan di Jakarta, khususnya terkait program rehabilitasi lingkungan.

Hingga kini belum ada program Pemprov DKI yang mampu mengatasi banjir, apalagi mengatasi kerusakan lingkungan yang mengakibatkan banjir. Banjir Kanal Barat (BKB), misalnya, adalah produk masa lalu yang dibuat pada masa penjajahan Belanda untuk mengantisipasi pembukaan hutan di kawasan Bogor menjadi areal perkebunan teh.

Pada era tahun 2000-an ini, pemerintah bahkan masih jungkir balik menentukan program penanggulangan yang pas. Terbukti proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang masih jadi polemik dan diselimuti beragam masalah.

“Yang paling mendasar kesalahannya adalah penataan ruang di DKI dan sekitarnya. Yang ditangani sampai sekarang itu hanya apa yang terlihat dari luar saja. Seperti orang sakit panas diberi aspirin, tetapi tidak dilihat penyebab penyakit itu,” kata Bianpoen. 

Bianpoen mencontohkan, menghadapi kemacetan lalu lintas, pemerintah cenderung mengatasinya dengan pelebaran jalan, jembatan layang dan jalan bawah tanah, atau juga jalan tol.  

Padahal, untuk membangun jalan, jalan tol misalnya, ribuan hektar lahan hijau harus dipangkas. Daratan ditinggikan agar terhindar banjir. Padahal, ini berarti mengalihkan banjir ke lokasi lain, dan ini biasanya cenderung ke kawasan permukiman masyarakat kelas menengah ke bawah.


Perubahan peruntukan kawasan

Kesalahan fatal lain di Jakarta adalah kekurangan transportasi umum yang memadai. Ini diatasi dengan penyediaan bus transjakarta dan jalur khususnya (busway) yang menyita sepertiga hingga separuh badan jalan. Transportasi umum ini diadopsi dari kota kecil di Amerika Selatan, Bogota, yang penduduknya hanya 1 juta lebih.

Padahal, dari segi jumlah penduduk, Jakarta setaraf dengan Moskwa, Paris, Shanghai, Tokyo, dan New York. Di semua kota metropolitan itu, sejak awal diterapkan sistem transportasi umum berupa mass rapid transport (MRT), kereta api bawah tanah (subway) dan di atas tanah.

Transjakarta terbukti hanya menambah kemacetan yang memicu meningkatnya polusi udara, konflik sosial, serta meminta kucuran dana ratusan miliar rupiah hanya untuk mengangkut segelintir orang dibandingkan dengan total delapan juta penduduk Jakarta.

Tidak hanya tentang transjakarta dan jalur khususnya, pembangunan yang tidak ramah lingkungan juga terus dilakukan di Jakarta. Pada tahun 1992-1997, Pemprov Jakarta berhasil menanam 4.800.000 pohon, tetapi semua itu kini tergerus.

Kawasan Kelapa Gading yang dahulu berupa rawa-rawa dan berstatus sebagai daerah tangkapan air justru disulap menjadi kawasan permukiman serta perbelanjaan mewah. Di Cibubur kasus serupa terjadi, yaitu adanya Cibubur Junction, dan di daerah Serpong dengan adanya Serpong

Junction.

Kawasan yang seharusnya menjadi tampungan air dan mengayomi masyarakat Jakarta dari kekurangan air bersih serta menjadi daerah hijau pendaur ulang polusi udara ironisnya kini menjadi kubangan besar di kala musim hujan. Warga pun mengungsi di bangunan-bangunan mewah di kawasan tersebut yang telah ditinggikan hingga lima meter.

Pembangunan yang tidak memerhatikan lingkungan dan masyarakat tercermin pula dalam program pembangunan 1.000 rumah susun.  Beberapa lokasi proyek, studi ketersediaan air, transportasi, serta  fasilitas umum bagi ribuan orang yang bakal tinggal dalam rusun atau apartemen hanya dibuat ala kadarnya. Dikhawatirkan, ketika sudah menjadi hunian, rusun yang ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah itu justru memicu permasalahan atau tragedi kemanusiaan.  Tidak heran jika semakin hari semakin banyak kasus kriminalitas di DKI Jakarta. Namun, jika dicermati, kriminalitas sebagian besar justru tidak terjadi di perkampungan kumuh, tetapi di daerah-daerah kaya yang menandai kejahatan hampir semuanya bermotif ekonomi. Kemiskinan dan kesenjangan sosial adalah pemicunya. 

Jadi, kalau berniat mengatasi tingginya kriminalitas dan kemiskinan bukan menambah atau mencetak polisi-polisi baru atau bahkan membentuk satuan tugas pengamanan baru yang justru seakan menjadi pelegalan para preman. Kriminalitas dan kemiskinan bukan diatasi dengan penggusuran.



Critikal review :

Menurut saya keberhasilan majunnya sebuah kawasan kota tergantung dengan system penataan infrastruktur ruang yang berjalan dengan sempurna.   Infrasstruktur dalam penataan  kota kurang sempurna akan mengakibatkan banyak akibat buruk bagi masyarakat yang menghuni. Contohnya penataan bangunan dan lahan hijau yang kutrang sempurna akan mengakibatkan banjir.




3.  Permasalahan DEPOK
PERMASALAHAN KOTA DEPOK

Undang-Undang No.15 Tahun 1999 yang menetapkan Depok sebagai kotamadya daerah tingkat II sesungguhnya mengharapkan agar Depok yang luasnya 20.029 hektar itu menjadi kota/daerah penyangga bagi Jakarta. Dengan demikian wilayah ini berfungsi sebagai daerah konservasi dan resapan air. Untuk menjaga status daerah resapan air, tak kurang Pemerintah menetapkan ketentuan membangun gedung (termasuk rumah) yakni building coverage ratio atau koefisien dasar bangunan dan koefisien daerah hijau. Tetapi dasarnya peraturan memang untuk dilanggar, ketentuan yang menjadi syarat mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) itu cenderung diabaikan. 
1.    Ruang Terbuka
Laju pembangunan sangat pesat di daerah depok. Kota Depok justru mengarah menjadi kota jasa perdagangan dan pendidikan. Maka tak mengherankan bila pembangunan perumahan sama pesatnya dengan pembangunan fasilitas perdagangan dan pendidikan. Menurut data tahun 2000, yang merupakan ruang terbuka hijau seperti areal pertanian maupun pertamanan di Depok, tinggal 56,8 persen saja. Bahkan dalam perencanaan pembangunan kota sampai tahun 2010 mendatang, sasaran porsi ruang terbuka hijau hanya 50,12 persen dan sama sekali tidak boleh lebih rendah lagi. Namun sayangnya, angka 50,12 persen itu justru telah tercapai sampai akhir tahun 2002. Ini berarti, untuk masa mendatang sudah harus tidak diperkenankan lagi adanya pembangunan ruang terbuka di kota Depok. 
Untuk perumahan hingga tahun 1998 tercatat sudah ada 91 Surat Keputusan (SK) izin lokasi dengan luas 3.541,33 hektar. Yang dikuasai oleh pengembang seluruhnya 1.362,93 hektar, namun yang sudah terbangun menjadi perumahan atau real estat barulah 392,21 hektar atau 11 persen dari izin yang telah dikeluarkan. Sedangkan untuk jasa dan industri menempati luasan 5,4 persen dari total luas kota. 
Untuk perumahan sejumlah kawasan yang masih berpotensi diantaranya Beji, Sawangan, dan Pancoran Mas. Sampai 1998, sedikitnya ada 91 SK izin lokasi dengan luas mencapai 3.541,33 hektar dan telah dikuasai sekitar 1.362,93 hektar. Dari izin lokasi ini, sudah terbangun 392,21 hektar atau 11 persen dari izin yang dikeluarkan. Artinya pembangunan perumahan yang saat ini berlangsung semestinya adalah pembangunan atas izin-izin lokasi yang telah dikeluarkan.

2.       Bervariasi  
Maraknya perumahan di Depok bisa kita saksikan mulai dari Jalan Margonda Raya hingga Depok II ke arah Sawangan, Cimanggis, Bogor. Perumahan Pesona Khayangan, Griya Depok Asri, Villa Pertiwi Depok, Mutiara Depok, Griya Pancoranmas Indah, Perumahan Jatijajar dan lain-lain. Spanduk-spanduk membentang di sepanjang jalan menawarkan rumah berbagai tipe dan harga.Tidak seperti kawasan Cibubur yang banyak didominasi perumahan kelas menengah atas, di Depok segmennya lebih bervariasi. Dengan demikian masih banyak dijumpai perumahan kelas menengah bawah.
Perumnas dengan perumahan yang didukung BTN, juga memiliki basis yang cukup kuat di Depok.Kota Kembang misalnya, di perumahan ini ada rumah berukuran 311 meter persegi dengan luas tanah 600 meter persegi harganya lebih dari Rp 1,2 miliar. Tetapi di sana masih pula dijumpai rumah kecil berukuran 29/72 seharga Rp 90 juta/unit. Griya Pancoranmas Indah adalah contoh perumahan yang memfokuskan segmennya pada kelas menengah bawah. Di sini tersedia rumah tipe 21, 36 dan 45 serta kavling siap bangun (KSB). Untuk rumah tipe 21/60, harganya ditawarkan Rp 46 juta, sementara untuk tipe 45/133 dijual seharga Rp 98 juta/unit. Naik kelas ke menengah atas, Pesona Khayangan tetap diminati. Setelah sukses menjual ratusan rumah berukuran menengah dan besar, kini perumahan ini banyak membangun rumah tipe mungil, istilah mereka bagi rumah berukuran kurang dari 100 meter persegi. Tersedia rumah tipe 55/90 seharga Rp 226 juta, lalu ada pula tipe 78/105 yang dijual Rp 291 juta atau sedikit lebih besar tipe 91/120 dengan harga Rp 335 juta.
Maraknya perumahan atau real estat di kawasan ini tampaknya tidak menyurutkan minat developer untuk terus membangun. Prediksi ini dikemukakan oleh Lukman Purnomosidi, wakil ketua umum Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) kepada SH pernah berujar,”Rasanya Depok masih akan dilirik oleh teman-teman pengembang, setelah Cibubur tentunya. Ini tidak lain karena masyarakat masih mendapatkan value dari Depok. Berbeda sekali dengan Bekasi atau Tangerang yang terbukti perumahan di sana sulit berkembang, Depok biarpun tidak sepesat dulu tetapi masih akan terus berkembang,” ujarnya. 

3.       Integrasi
Kesalahan utama barangkali bukan pada pengembang atau keberadaan perumahan di kawasan Depok, tetapi lebih kepada tidak adanya penataan kota yang terencana di kawasan ini. Terbukti, dari data yang disebutkan di atas, pembangunan perumahan di sana belumlah melebihi ketentuan yang digariskan oleh pemerintah. Kelemahan yang jelas tampak adalah tiadanya akses jalan alternatif di samping harus diakui tidak ada integrasi kawasan perumahan. Setiap kawasan perumahan cenderung terpencar-pencar (scattered) dan berdiri sendiri. Terlepas dari kelemahan yang tampak, rasanya ke depan kita masih akan menyaksikan naiknya permintaan rumah utamanya kelas menengah atas. Ini karena tidak adanya penambahan signifikan perumahan di kota Jakarta, menyebabkan orang memilih rumah di Depok.Menurut penuturan dari pejabat PT Daksa Group, pengembang Griya Depok Asri dan Kota Kembang, pengembang diperkirakan tetap eksis membangun rumah baru. “Pasar perumahan di sini masih sangat potensial, mengingat masih banyak wilayah di Depok yang belum dikembangkan secara maksimal,” ujar Hendy Soerojo Soeroto, kepala biro pemasaran PT Inti Karsa Daksa.
Kalau pemerintah tidak segera tanggap dan membenahi infrastruktur yang ada, utamanya jalan, selamanya kemacetan akan menjadi hambatan yang membebani kota Depok. Maka perlu diadakan restrukturasi kota Depok, terutama dari segi infrastruktur jalan.


DAFTAR PUSTAKA
Irawan, Mahmud Rizal.2008.Pengelolaan Pemukiman”, dalam Suara Merdeka. Selasa, 11 November. Semarang.
Anonim. 2010.” Menyoal Permasalahan Kota-kota Besar Indonesia dalam kaitannya dengan Kondisi Sosial Masyarakat”. http://www.rachmad ramadhan fauzi.blogspot.com.  Diunduh Minggu, 10 Oktober.                       
Litaay, Theofransus. 2007. “Peluang Pembangunan Tanah Papua”, dalam http://www.pemprovpapua.go.id. Diunduh Minggu, 10 Oktober 2010.

Triana, Neli. “Penataan Kota Amburadul, Warga Rugi “, dalam http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/19/Fokus/3488023.html. Diunduh Rabu, 12 Oktober 2010.





Family Tree